Indonesia Harus Belajar Dari Negara Taiwan Hadapi Covid 19

 

 

 

Internasional – Fokus Lensa – Menurut Wikipedia, Taiwan adalah negara dengan penduduk sekitar 23.780.452 pada tahun 2018. Dua kali lipat lebih penduduk Jakarta sekarang. Luas area nya adalah 36.197 km2. Adapun jarak Taiwan ke Cina Daratan yang menjadi epicentre awal wabah corona adalah 130 Km. Sementara Italia adalah negara yang pada tahu 2020 ini diperikirakan berpenduduk 60.317.546 atau dua kali lipat lebih penduduk Taiwan.

 

Adapun luas wilayahnya adalah 301.340 km2 atau hampir sembilan kali lipat luas wilayah Taiwan. Sementara jarak Italia ke Cina daratan yang merupakan pusat wabah virus corona pertama kali muncul adalah 7.633 km.

 

Namun kalau kita buka data yang dipublikasikan worldmeter perihal wabah Corona yang sekarang melanda dunia, pada saat tulisan ini dibuat (22/03) dari total 306.892 kasus orang terjangkit virus Corona serta total 13.025 meninggal karena virus corona di seluruh dunia, di Italia ada 53.578 kasus corona dimana 4.825 orang diantaranya meninggal. Sementara di Taiwan, ada 153 kasus orang terjangkit virus corona dengan 2 orang meninggal.

 

Data yang dipublish worldmetters diatas, tidak berbeda dengan data yang dipublikasikan oleh John Hopkins University Corona Virus Resource Centre. Untuk negara yang bertetangga dekat dengan pusat wabah, jelas angka diatas adalah sebuah capaian luar biasa yang mesti diapresiasi

 

Ketika memberikan pandangannya tentang cara Taiwan menghadapi Corona Virus, Anders Fogh Rasmussen, Perdana Mentri Denmark tahun 2001-2009, menulis dalam paragrah awal artikelnya di majalah Time yang berjudul ; “Taiwan has been shout out of Global Health Discussion. Its Participation Coud Have Save Lives” bahwa: 

 

“Eight hundred and fifty thousand of Taiwan’s 23 million citizens reside in mainland China. Four hundred thousand work there. At its narrowest point, the Taiwan Strait between the island and the mainland is just 130 km. So, by all accounts, Taiwan should be in the midst a major coronavirus outbreak. Instead, as of March 18, it had seen just 100 cases compared to the more than 80,000 in China and the tens of thousands in several countries in Europe.

 

Karenanya menurut Anders, dunia kesehatan global, mestinya belajar dari cara Taiwan menghadapi wabah Covid 19 ini. Sayang nya, Taiwan dengan sistem kesehatan kelas dunianya, justru seperti dikucilkan dari pergaulan dunia internasional. China misalnya. Kebijakan “One China” telah membuat Taipei tertolak dari berbagai event internasional padahal sebelumnya bisa hadir sebagai observer. 

 

Hal ini juga dilakukan oleh WHO, yang dianggap otoritas kesehatan tertinggi di dunia, terhadap Taiwan. Sampai tahun 2016, Taiwan masih diperbolehkan berpartisipasi dalam pertemuan tahunan WHO sebagai  a non-state actor.

 

Sayangnya selama tiga tahun terakhir, permintaan Taiwan untuk terlibat dalam pertemuan rutin WHO ditolak. Apabila Taiwan ingin terlibat dalam pertemuan pakar kesehatan untuk mengidentifikasi tantangan dunia kesehatan yang diinisiasi WHO, mereka harus mengajukan permintaan.

 

Bukan diundang seperti anggota WHO lainnya. Ironisnya, setiap kali Taiwan mengajukan permintaan, WHO selalu menolaknya. Karenanya selama tiga tahun terakhir, Taiwan tidak diikut sertakan dalam pembahasan vaccines influenza.

 

Lalu bagaimana cara Taiwan menghadapi wabah Covid-19 ini?

 

Masih dalam tulisan yang sama, Anders Fogh Rosmussen mengemukakan bahwa kekuatan Taiwan dalam menghadapi Corona ada pada: “Deploying a combination of big data, transparency and central command”. Pola yang diterapkan Taiwan ini menurut Anders tidaklah muncul begitu saja. Taiwan belajar banyak dari wabah SARS pada tahun 2003. Karenanya ketika Covid 19 pecah pertama kali di Wuhan, Taiwan sudah siap menghadapinya.

 

Karena itu keliru kalau Jubir Presiden mengatakan bila Indonesia seperti juga negara-negara lain di dunia, tidak bisa memprediksi wabah Covid-19 dan negara-negara di dunia juga tidak mempunyai persiapan menghadapinya. 

 

Apa yang diungkap Rosmussen ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Centre for Policy, Outcomes, and Prevention Stanford University dari Amerika.

 

Menurut Direkturnya, Dr Jason Wang, dalam akun youtube nowthis, mengatakan bahwa Taiwan itu: “Before people said, ‘Ready, set, go,’ they were already preparing for it. So when people said go, they were running”. 

 

Menurut Wang, Taiwan memulai langkah menghadapi wabah Covid-19 pada Desember 2019. Ketika pertama kali wabah ini muncul di Wuhan. Ketika ada pesawat datang dari Wuhan, Taiwan bergerak cepat memeriksanya.

 

Sebelum pesawat itu mendarat, mereka memeriksa symptom penumpang. Petugas yang ditunjuk, sangat hati-hati untuk mendeteksi kedatangan virus dari Wuhan itu. 

 

Taiwan langsung mengaktifkan National Health Command Centre yang telah mereka siapkan setelah wabah SARS pada tahun 2004. Pengaktifan ini memungkinkan pemerintah memiliki dasar koordinasi antar departemen di pemerintahan dalam menghadap wabah Covid-19.

 

Selain itu, Taiwan juga menggunakan Big Data yang diintegrasikan dengan data dari National Health Insurance serta data base Imigrasi dan Bea Cukai. Sehingga ketika seorang dokter memeriksa seorang pasien, dia sudah tahu bahwa pasien tersebut telah melakukan perjalanan kemana saja. Pemeriksaaan pun akan berjalan lebih cepat. Ketika ada seorang datang dari Wuhan, dokter tidak lagi bertanya mereka datang dari mana, tapi bertanya lebih dalam mereka mengalami demam atau batuk dan mereka akan memintanya untuk mengikuti test Covid-19.

 

Taiwan mengintegrasikan data dan menggunakannya untuk mendeteksi kedatangan penyakit menular.

 

Selain itu, pemerintah juga menggunakan telepon selullar serta data lokasi untuk mengkarantina masyarakatnya.

 

Pegawai dinas kesehatan akan menghubungi traveller yang ada dalam karantina, dua atau tiga kali untuk memastikan bahwa symptom yang mereka alami tidak bertambah buruk. Apabila symptom yang mereka alami bertambah buruk, maka mereka akan mendatangkan dokter.

 

Apabila dokter tidak datang dan mereka akan meneruskan mengkarantina diri di rumah, maka pegawai pemerintah Taiwan akan mengantarkan makanan ke rumah mereka. 

 

Namun apabila orang tersebut keluar rumah tidak patuh mengikuti instruksi karantina, maka petugas akan datang ke rumahnya untuk memberi denda besar. Namun kalau mereka tinggal di rumah, mereka akan dibayar. Karenanya, orang tidak perlu khawatir untuk diam di rumah. Karena selain disiapkan makanan, dia juga dibayar. 

 

Pemerintah juga mengantisipasi kekurangan supply alat-alat medis. Pembuatan masker serta distribusinya, dikontrol dengan ketat oleh pemerintah.

 

Karena mereka menyadari bahwa ini adalah material yang sangat penting dalam menghadapi epidemik. Taiwan mengimplementasikan lebih dari 120 protokol selama penyebaran wabah ini. Mereka juga menahan kedatangan masyarakat ke rumah sakit. Apabila mereka mengalami symptom kemudian demam mereka akan dibawa ke tempat lain untuk dirawat. Prosedur ini berlaku sama di setiap institusi. 

 

Selain itu, di gedung-gedung umum apabila orang berjalan, terdapat scanner yang akan mendeteksi apakah orang mempunyai demam atau tidak. Bila dia demam, maka dia tidak bisa memasuki gedung secara otomatis. Karenanya sekolah tetap buka, anak-anak tetap pergi ke sekolah dan suhu badannya sudah tersimpan di komputer. 

 

Di Amerika sendiri, sampai bulan Maret terdapat 14.000 kasus corona. Tapi menurut Wang, angka real nya mesti jauh lebih tinggi. Karena Amerika terlambat melakukan test. Menurut Jason Wang, pemerintah federal Amerika beserta beberapa negara bagian, tidak memberikan perhatian besar terhadap infrastruktur kesehatan seperti yang ditunjukan Taiwan. Karenanya Amerika tidak bergerak cepat ketika wabah ini datang. Amerika adalah negara yang terlambat merespon wabah Corona 

 

Diluar infrastruktur kesehatan Taiwan yang sudah siap menghadapi wabah, adalah hal yang menarik melihat pada faktor sosial dan budaya Taiwan. Seorang youtuber bernama Lukas Engstrom dalam video nya yang berjudul : Covid-19 in France, Sweden and Canada vs Taiwan, sempat mengungkapkan sisi sosial budaya Taiwan dibanding beberapa negara Eropa.

 

Menurut Engstrom, beberapa negara Eropa mempunyai kebiasaan bersalaman, berangkulan, dan cium pipi ketika bertemu. Bahkan negara seperti Prancis, mempunyai istilah France Kisses untuk menggambarkan kebiasaan mereka ketika bertemu. Padahal sebagaimana diketahui, itu kebiasaan seperti itu mempermudah penularan virus. Sementara di Taiwan, orang cukup mengangkat dan menggoyangkan tangan.

 

Sumber : (Penulis adalah Ketua Bidang Luar Negeri Serikat Media Siber Indonesia (SMSI)