JAKARTA – Fokus Lensa – (1/4) – Stay at Home (disingkat SAH), kedua frase kata tersebut acapkai kita dengar akhir – akhir ini, Lalu, apakah berdiam di rumah bakal membawa kenikmatan bagi orang orang menjalaninya ? Meski terdengar menyenangkan, namun prakteknya ‘social distancing’ bisa membosankan (boring) juga, terutama bagi Anda yang senang pergi ke luar rumah ataupun terbiasa berinteraksi banyak orang. Di satu sisi, Peningkatan virus Korona telah menyebar di Indonesia, bahkan dunia dalam upaya meredam penyebarannya Pemerintah menghimbau masyarakat agar tetap #dirumahaja hingga pandemik COVID-19 berakhir.
Lantaran, jenuh dengan situasi tersebut tentunya perlu wawasan mumpuni memahami sikon seperti di atas. Lita Gading, seorang Psikolog pun sampaikan belum tentu juga akan membawa kenikmatan, imbuhnya berpandangan. Jakarta, Rabu (1/4)
Perlu diketahui, kemuka Lita menerangkan bahwa kepribadian seseorang terbagi menjadi dua (2), yakni Introvert (Tertutup) dan Extrovert (Terbuka).
“Dalam hal ini mungkin bagai sebagian orang yang Introvert (tertutup) biasa biasa saja,” ujar Lita ringan.
Karena, mereka kurang suka berinteraksi dengan dunia luar, bersosialisasi dengan teman, nongkrong, ngopi ngopi di cafe dan sebagainya. Barangkali, dengan adanya ‘Stay At Home’ (disingkat SAH) ini mereka lebih bahagia gandrungi dunia internetnya surving di dumay (dunia maya). Disinilah, kata Lita bahkan sampai mengurung diri di kamar lantaran malas juga enggan bergabung dengan saudara saudaranya yang sedang kumpul.
Lalu, yang jadi pertanyaan bukan berarti orang introvert tidak stres dalam kondisi seperti ini ?
“Justru akan sebaliknya mudah skali stres,” imbuh Psikolog Lita.
Nah, kemudian apakah anda tahu bahayanya dari ‘Stay At home’ ?
Kemuka Lita menyampaikan apabila kita tidak pandai mensiasatinya, apalagi yang rumahnya sempit dihuni oleh beberapa orang di dalamnya, bahkan tidak ada fasilitasi apapun di rumahnya. Namun hatinya bergejolak, cemas, gundah dan takut terkena wabah mematikan itu tapi apadaya perut pun harus kenyang.
Pemerintah, memang dalam mengambil langkah ini mungkin demi kebaikan bersama supaya wabah virus terputus mata rantainya. Baik dengan memberikan segala kebijakan kebijakan seperti memberikan keringanan membayar listrik, cicilan dan lain lain. Namun dengan kebijakan seperti itu saja tidak cukup, ujar Lita mengatakan.
Di satu sisi, apabila kita mencoba membayangkan bagi orang orang yang Extrovert (kepribadian Terbuka) dan di sinyalir kuat terhadap stres. Yang jadi pertanyaan selanjutnya apakah bahagia dengan kondisi ‘terkurung’ di rumah ?
Menurut Lita, tentunya ini ibarat suatu ‘neraka’ dan perampasan hak asasi. Ironis memang. Lantaran orang ber-kepribadian ini lebih suka berinteraksi dengan orang lain, bersosialisasi, ngobrol sana sini, tidak mau diam / aktif, bahkan dalam mengembangkan idenya itu mesti keluar dari tempat satu ke tempat lainnya.
“Jika tidak ide nya ga bakal keluar. Nah, kurangnya aktualisasi diri juga bikin jadi ‘mati gaya’ sulit ekplor kreatifitasnya. Bahkan bisa terjadi perubahan prilaku karen stres melanda hati dan pikiran, emosi meningkat karena kurang nya pelampiasan kejenuhan, marah marah,” tukasnya.
Singkat cerita, imbuh Lita kala mendengarkan temannya bercerita malah berdiam di rumah bikin tambah boros. Berkurang nya aktifitas, malah jadi sering belanja online buat hilangkan kejenuhan agar bisa membahagiakan hati dalihnya (self defense). Sontak, malah memungkinkan jadi banyak makan (katarsis stres) yang mengarah obesitas.
“Nah, jika Stay At Home (SAH) ini kelamaan lebih dari 14 hari, tidak heran orang orang seperti ‘teman’ saya tadi akan banyak terjadi di luar sana. Bahkan mungkin ada yang lebih parah,” ujarnya.
Barang tentu, sebenarnya langkah ‘Stay at Home’ (SAH) bukannya tanpa resiko. Dari sektor mata pencaharian, ada beberapa jenis pekerjaan sangat berpengaruh dari langkah ini, diantaranya seperti supir angkutan umum, transportasi online, pengusaha restoran, rumah makan, penjaja makanan, hotel, event organizer, Motivator Omzet. Jenis kategori pekerjaan ini dapat menurun drastis secara signifikan.
Menurut Lita menganjurkan jikalau sudah seperti ini, lalu apa yang bisa kita lakukan ? Inilah beberapa saran Psikolog Lita yakni, sebagai berikut :
1. Berpikir Positif
Pencegahan penyebaran virus korona dapat berhasil dengan dukungan aktif semua lapisan masyarakat.
2. Rubah Mindset
Kesehatan hanya kita sendiri yang bisa mencegah dan mengobatinya, bukan dokter atau jasa kesehatan lainnya.
3. Percaya Diri
Kita harus tetap optimis, dengan adanya virus ini adalah teguran dari Allah namun harus tetap percaya diri semua bisa kita lewati keadaan ini dengan tetap menjaga diri dan bersikap baik.
“Klise memang. Tapi itulah kenyataan nya terjadi sekarang, apapun kepribadianmu kita semua harus jaga kesehatan, tetap berpikir positif, menjadi diri sendiri tanpa terprovokasi orang lain. Itulah jalan yang terbaik,” saran Lita.
Karena, sejauh ini menurutnya belum ada yang bisa mengukur berapa besar representasi kepribadian Introvert dan Extrovert itu.”Yang jelas belum ada yang biasa mengukurnya sampai sekarang. Jadi kebijakan kebijakan yang diambil Pemerintah itu mesti diperhatikan dari berbagai sudut kepribadian manusianya juga,” ujar Lita mengingatkan.
“Jangan hanya memikirkan ekonomi, tapi orang orang bisa runtuh satu persatu. Namun bukan berarti mengindahkan nya apa yang sudah menjadi kebijakan Pemerintah untuk tetap diam di rumah,” tuturnya.
Akhir kata, belum lagi yang menjadi permasalahannya sampai kapan.”Nah itu juga kita tidak tahu. Waktu yang sudah ditentukan hanya sifatnya sementara, bisa diperpanjang atau tidak. Jelas, kita berharap virus ini akan segera berlalu. Dan kita semua hidup tenang tanpa di kuasai rasa cemas,” imbuh Lita. (Sony)